Hubungan dengan Tuhan Itu Bisa Langsung Secara Pribadi
Penyesatan Al Hallaj misalnya lebih karena aspek politis. Pemahaman tentang wahdatul wujud, Al Ittihad, dan hulul kemudian dianggap sesat. Padahal ketika mau dijatuhi hukuman mati, dia (Al Hallaj) ditanya, “Apa permintaanmu terakhir?”. Dia jawab, “Ijinkan saya sholat dua roakaat”. Al Hallaj juga aholat. Jadi dia dianggap sesat, murtad, itu di mana? Dia juga dituduh syi’ah yang ekstrim. Lha wong amaliyah tarekat-nya, silsilah sampai ke Abu Bakar Ash Shiddiq, koq dianggap sesat. Khan konyol pandangan ulama’ dahulu itu. Ini pertimbangan politik. Kasus di Indonesia juga sama, Syeikh Siti Jenar juga begitu. Dalam penyesatan Syeikh Siti Jenar secara politis bagaimana?Kesalahan Syeih Siti Jenar itu dia memotong silsilah tarekat. Karena dahulu itu ada kecenderungan semua guru, silsilah tarekat harus dari Arab, mursyid juga begitu. Itu yang oleh Syeikh Siti Jenar ditentang. Kemudian apa, orang jawa tidak bisa menjadi mursyid (guru) thariqah. Dari Abu Bakar As Shiodiq langsung ke Syekh Siti Jenar, kamu boleh jadi mursyid dan ajarkan sebagai orang Jawa. Kenapa, Gusti Allah itu bukan hanya milik orang Arab, dan Islam tidak mengenal pewarisan yang turun temurun seperti itu. Itulah kesalahan Syekh Siti Jenar, mengangkat derajatnya orang Jawa, orang Sunda, pribumi, bahwa orang pribumi boleh berhubungan dengan Tuhan. Tuhan tidak membatasi kebangsaan seseorang. Apalagi dia mengajarkan hubungan dengan Tuhan itu bisa langsung secara pribadi, langsung saja tidak perlu pakai perantara. Akhirnya orang-orang banyak yang sembahyang sendiri-sendiri.
Kesalahan Syeih Siti Jenar itu dia memotong silsilah tarekat. Karena dahulu itu ada kecenderungan semua guru, silsilah tarekat harus dari Arab, mursyid juga begitu. Itu yang oleh Syeikh Siti Jenar ditentang. Kemudian apa, orang jawa tidak bisa menjadi mursyid (guru) thariqah. Dari Abu Bakar As Shiodiq langsung ke Syekh Siti Jenar, kamu boleh jadi mursyid dan ajarkan sebagai orang Jawa. Kenapa, Gusti Allah itu bukan hanya milik orang Arab, dan Islam tidak mengenal pewarisan yang turun temurun seperti itu. Itulah kesalahan Syekh Siti Jenar, mengangkat derajatnya orang Jawa, orang Sunda, pribumi, bahwa orang pribumi boleh berhubungan dengan Tuhan. Tuhan tidak membatasi kebangsaan seseorang. Apalagi dia mengajarkan hubungan dengan Tuhan itu bisa langsung secara pribadi, langsung saja tidak perlu pakai perantara. Akhirnya orang-orang banyak yang sembahyang sendiri-sendiri tidak setor kepad ulama. Istilah rakyat, atau roqyah atau masyarakat, kalau tidak ada Syeikh Siti Jenar anda tidak akan mengenal istilah itu. Yang anda kenal kawula, kalau orang sunda abdi, kalau di tanah Melayu sahaya, artinya juga budak. Syeikh Siti Jenar tidak, insun (aku). Sultan dahulu itukan disembah-sembah. Ini yang ditentang Siti Jenar, pengikutnya banyak yang tidak patuh, melawan. Karena kalangan Keraton jumlahnya banyak, Siti Jenar sedikit, dihabisi. Jadi gerakan revolusi sebenarnya Syekh Siti Jenar itu, baginya masyarakat itu bukan kawula. Dia yang menyadarkan orang kepada hak dasar manusia bahwa rakyat bukan budak. Ada anggapan bahwa sufisme meremehkan masalah syari’at sehingga muncul penyesatan?
Dalam tasawuf, sesuatu yang sifatnya syar’i, ini sering kali itu malah berlebihan (kuantitas dan kualitasnya). Sembahyang itu sampai 70 rokaat. Kayak itu tadi (Ali Thoha), puasa seumur hidup. Malah berlebihan. Karena, dia menganggap dunia itu tidak ada apa-apanya (dibanding beribadah). Gak ada ceritanya meremehkan syariat itu. Malah yang sering muncul anggapan bid’ah karena ditambahi. Lha wong mengingat Allah itu tidak dibatasi koq. Lebih konyol lagi tasawuf itu tidak membahas sorga dan neraka. Sekalipun mereka yaqin, itu (sorga-neraka) haq ada, itu semua makhluk ciptaan. Dia hanya menuju satu titik, Tuhan. Dalam tasawuf yang penting tauhid. Makanya dalan ajaran Siti Jenar yang paling tinggi itu ingat kepada Allah, dzikrullah. Dalam kelompok kejawen itu ada ungkapan eling kang utomo. Eling artinya dzikir. Sembahyangpun tidak ada artinya kalau tidak ingat kepada Allah. Banyak orang yang sholat, tahajjud di masjid, tetapi pikirannya tidak eling kepada Allah, yang dingat urusan dunia dan jabatan. Makanya dalam Serat Syeikh Siti Jenar itu dikritik, “Badannya sholat tetapi pikirannya mencuri”. Jadi sebetulnya itu, anggapan sesat atau tidak itu tergantung orang yang memandang. Tetapi bagi sesama orang tasawuf ya nggak akan menyalahkan. Kenapa, karena tasawuf itu masalah qolb (hati). Jadi tidak di tasawuf itu (menghakimi) ini sesat. Karena kesesatan itu definisi akal, kalau sudah akal itu, kesombongan, pamrih muncul di situ. Karena yang dikenal akal hanya yang nampak. Kenapa tasawuf itu bisa berkumpul, berdiskusi dengan pendeta Hindu, Bhuda, memperbincangkna tentang Illahi meskipun namanya beda. Itu bisa (dilakukan) karena ya hatinya bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar